Setelah melintasi perbukitan terjal dan hutan rimbun selama 11 hari,
penduduk Rohingya dari Buthidaung mulai memasuki Bangladesh.
tirto.id
-
Kisah mengerikan tentang kekejaman militer Myanmar dituturkan oleh orang-orang Rohingya dari Buthidaung,
sebuah kotapraja di Negara Bagian Rakhine. Mereka menggambarkan
beberapa desa terbakar jadi puing abu, anggota keluarga mereka dibunuh,
desa mereka menjadi wilayah yang bersih dari umat muslim.
Sejak 3
September lalu, pasukan penjaga perbatasan Bangladesh membawa semua
pengungsi yang melintasi perbatasan ke sebuah kamp darurat baru di
Teknaf usai menyeberangi Sungai Naf.
Permukiman darurat baru di daerah Putibunia sekarang menjadi tempat penampungan bagi 10.000 pengungsi Rohingya.
Di
permukiman sementara Putibunia, sekitar 100 keluarga dari Buthidaung
telah melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Riajul
Karim dan Mohammad Nosim, keduanya tinggal di jalur desa Taung Bazar di
Buthidaung, mengatakan desa mereka memiliki 10.000 penduduk etnis
Rohingya. Mereka mengklaim 250 orang di antaranya dibunuh oleh militer
Myanmar.
“Yang lainnya melarikan diri dari desa,” kata Karim dan Nosim.
Karim
berkata, "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana
militer merampok desa kami, membakar rumah-rumah, dan membunuh
orang-orang."
Militer datang ke desa-desa muslim etnis Rohingya untuk mencari baghi—istilah setempat untuk menyebut “pemberontak” Rohingya.
Bahkan
Karim masih ingat dan bisa mengidentifikasi beberapa tetangganya yang
dibunuh oleh militer Myanmar: Jaber, Mojibullah Mouluvi, Amir er Din,
Omar Faruk, Abdul Aziz...
share infografik
Orang-orang Rohingya mengungsi setelah kampung mereka dibakar dan diburu oleh pasukan militer Myanmar.
Taktik Bumi Hangus oleh Militer Myanmar
Ketika ditanya jenis senjata apa yang digunakan Tatmadaw, nama
resmi militer Myanmar, saat beroperasi di desanya, Karim menjawab,
"Mereka menggunakan peluncur roket. Dan berdiri 200 meter dari rumah dan
meluncurkan roket itu ke rumah kami dan membuat rumah kami terbakar."
Melihat kampungnya luluh lantak dan nyawa terancam, Karim dan ribuan muslim Rohingya lain melarikan diri ke Bangladesh.
Mereka
melintasi tiga gunung besar dan gunung kecil lain selama sebelas hari.
Hingga akhirnya mereka bisa sampai ke perbatasan dan dibawa ke pemukiman
pengungsi sementara oleh penjaga perbatasan Bangladesh.
Berdasarkan kesaksian orang-orang Rohingya yang kabur dari Buthidaung, orang-orang mogh—sebutan
lokal untuk orang Buddha di Rakhine—ikut pula menyerang dengan parang
sesaat setelah tentara menembakkan roket dan membakar rumah.
Nosim mengatakan, setelah mendengar teriakan itu, orang-orang Rohingya lari kocar-kacir. Dan jika orang-orang mogh
menemukan seorang Rohingya, ujarnya, mereka akan membacok si malang
dengan parang. Itulah kenapa dari foto-foto korban di Rakhine, lazim
ditemui mayat yang dipenuhi sayatan dan bacokan senjata tajam.
Serangan oleh Arakan Rohingya Salvation Army
(ARSA/ Tentara Pembebasan Rohingya Arakan) terhadap pos pasukan
keamanan Myanmar terjadi di Buthidaung, Maungdaw, dan Rathedaung pada 25
Agustus. Dan diyakini bahwa ketiga kota kecil di Negara Bagian Rakhine
ini terkena dampak paling parah akibat konflik terbaru ini.
share infografik
"Kami harus sembunyi-sembunyi saat berjalan ratusan kilometer untuk sampai selamat ke Bangladesh," ujar pengungsi Rohingya.
Nasib Tak Tentu Orang Rohingya dari Rathedaung
Kontributor lepas Tirto di lapangan hingga kemarin, 6
September, hanya bisa berbicara dengan penduduk desa dari Buthidaung,
yang telah menyeberang ke Bangladesh untuk mencari tempat berlindung.
Mereka berkata bahwa orang-orang Rohingya dari Rathedaung diyakini
membutuhkan dua hari lagi untuk sampai ke Bangladesh karena lokasinya
sangat jauh untuk sampai ke perbatasan.
Orang-orang Rohingya dari Buthidaung yang selamat menyampaikan pesimismenya terhadap karavan manusia dari Rathedaung.
Agak
sukar, kata mereka, orang Rohingya dari Rathedaung bisa menyeberang ke
Bangladesh. Mereka harus melintasi daerah sungai dan perbukitan di bawah
kendali militer Myanmar.
Rathedaung berjarak sekitar 54 km dari
Buthidaung. Buthidaung berjarak sekitar 40 km dari Maungdaw. Dan
Maungdaw berjarak kurang dari 10 km dari Bangladesh. Praktis pengungsi
dari Rathedaung mesti menempuh sekitar 100 km perjalanan melalui hutan
dan naik-turun perbukitan.
share infografik
Kamp-kamp darurat baru seadanya di Teknaf dibuat untuk menampung ribuan pengungsi baru Rohingya.
Kisah Pilu Pengungsi dari Buthidaung
Orang-orang Rohingya sesekali harus menyeberangi sungai. Tentara Myanmar
memusatkan kekuatan di tepi sungai dan perbukitan. Kabar terbaru
menyebutkan pasukan di areal ini meminta bantuan pasukan udara untuk
menghentikan eksodus pengungsi Rohingya. Orang Rohingya harus
kucing-kucingan demi menyeret nyawa.
Beruntung bagi mereka yang
bisa kabur. Tetapi bernasib celaka bagi yang bersua militer di tengah
perjalanan, sebagaimana disaksikan oleh Nur Ankish.
Wanita
berusia 21 tahun ini kabur dari Desa Khanjarpara, Buthidaung, “Militer
Myanmar membawa kekuatan besar ke desa kami dan setidaknya membakar 200
rumah.”
“Militer telah menahan begitu banyak anggota laki-laki
dari desa kami dan pertama-tama menempatkan mereka di suatu tempat
sembari mengikat tangan ke belakang dan membawa mereka pergi," kisah Nur
Ankish.
Ia juga mengatakan, terkadang di tempat yang sama, militer melepaskan tembakan ke orang-orang Rohingya.
Nur
berkata, ia kehilangan beberapa kerabatnya, “Adik suamiku, Abdul
Aziz; tetanggaku Mohammad Amin dan Mohammad Rafiq ditembak mati oleh
militer Myanmar.”
Kisah nahas dialami pula oleh Kulsuma Khatun.
Ia tiba ke Bangladesh baru-baru ini dan, sama seperti Nur, berasal dari
Buthidaung. Ia duduk di bawah langit terbuka karena masih belum
mendapatkan tempat layak di kamp sementara.
Kulsuma masih shock berat. Beberapa hari sebelumnya, anaknya, Mohammad Rafiq, tewas diterjang peluru panas militer Myanmar.
Kulsuma
menuturkan bagaimana ia menyaksikan kematian anaknya. Ia pilu dan hanya
bisa pasrah saat anaknya meregang nyawa dan ia tak punya kuasa untuk
memberontak.
Jangankan memberontak, katanya, membantah pun ia kelu. Ia memilih membisu agar selamat dari orang-orang bersenjata di dekatnya.
“Anak
laki-lakiku berusia 26 tahun terbunuh oleh militer tepat di depan mata.
Militer datang ke rumahku dan mencari pemuda. Anakku dibawa ke luar
rumah dan ditembak mati. Mereka langsung mencurigainya sebagai baghi.”
share infografik
Krisis terbaru Rohingya membutuhkan bantuan kemanusiaan sesegera mungkin di perbatasan Bangladesh.
Trauma Parah bagi Anak-Anak
Menurut kesaksian pengungsi Rohingya, kekejian lain dari operasi militer Myanmar selama dua pekan terakhir juga menyebut bahwa Tatmadaw
membawa anak-anak dari pelukan ibu untuk kemudian memisahkannya atau
membunuhnya. Hal ini terjadi di empat desa di utara Maungdaw.
Informasi ini sejalan temuan UNICEF pada 4 September: setidaknya ada 26 anak tanpa pendamping dirawat oleh organisasi perlindungan anak PBB itu.
Anak-anak
ini melewati perbatasan tanpa pendamping; sebagian dari orang tua dan
keluarga mereka telah tewas. Pejabat UNICEF, Christophe Boulierac,
berkata kemungkinan besar makin banyak temuan serupa di hari-hari
mendatang.
Selain itu, ia mengatakan, banyak anak yang melarikan diri ke Bangladesh mengalami trauma psikososial yang parah.
Marium
Begum, ibu dari seorang anak laki-laki berusia empat tahun, mengatakan
anaknya mengalami trauma akut. Anaknya bergidik dan panik saat bertemu
orang asing.
Ia mengatakan anaknya melihat rumahnya dibakar dan
orang-orang yang menyayanginya disiksa dan dibunuh, termasuk ayahnya
yang dibawa oleh militer Myanmar dan kini belum tahu apakah masih hidup
atau sudah mati.
share infografik
Pengungsi anak mengalami trauma akut akibat kekejaman terbaru militer Myanmar.
Krisis Terburuk Sejak 2012
Krisis Rohingya kali ini adalah ledakan terburuk dari tahun-tahun
sebelumnya. Ada arus masuk besar pengungsi pada 2012, 2015, dan 2016;
tetapi kali ini berbeda. Saat ini amat sedikit pria dewasa dan anak muda
lelaki.
Informasi dari mulut ke mulut pengungsi menyatakan
bahwa militer Myanmar secara membabibuta membunuh kaum pria dengan
menudingnya sebagai baghi.
Pelapor Khusus PBB untuk Situasi Hak Asasi Manusia di Myanmar, Prof. Yanghee Lee kepada The Hinduberkata jumlah korban tewas bisa lebih dari 1.000 orang.
“Angka ini didapat dari seluruh wilayah utara Rakhine,” ujarnya, “tidak hanya dari beberapa desa.”
"Saya
bisa berkata bahwa video citra satelit Human Rights Watch baru-baru ini
menunjukkan bahwa desa-desa dibakar di sepanjang perbatasan 100 km di
Negara Bagian Rakhine. Sulit untuk berkata bahwa hanya sedikit yang
terbunuh,” ujarnya.
Muslim Rohingya disebut-sebut sebagai
minoritas etnis paling tertindas di dunia, dan status etnisnya tidak
diakui oleh pemerintah Myanmar. Sejak 1970-an, hampir 1 juta muslim
Rohingya mengungsi dari Myanmar—termasuk ke Indonesia—lantaran persekusi
negara yang sistematis dan meluas.
Menurut laporan Burma Human Rights Network, pemerintah junta militer Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Rohingya,
di antaranya: tidak mengakui mereka sebagai warga negara, menghancurkan
masjid dan melarang mereka memperbaikinya; menyulut siar kebencian
anti-Islam; mengurung mereka ke kamp-kamp perkampungan lewat aksi
kekerasan; menyebarkan kampanye “perkampungan bebas muslim”; dan
melancarkan operasi militer di Negara Bagian Rakhine.
Menurut laporan terbaru International Crisis Group, berjudul Buddhism and State Power in Myanmar,
kehadiran Arakan Rohingya Salvation Army dalam dua peristiwa konflik di
Rakhine pada Oktober 2016 dan Agustus 2017 telah “memberi angin segar”
bagi kelompok-kelompok radikal nasionalis Buddha untuk semakin gencar
menyebarkan sentimen anti-Islam di Myanmar.
Perkembangan ini
menaikkan tensi krisis di Negara Bagian Rakhine, dan semakin terjal saja
langkah-langkah pemulihan serta upaya menjamin hak-hak asasi muslim
Rohingya.
Sebagian
besar naskah ini berbasis laporan langsung oleh Adil Sakhawat, wartawan
setempat yang menulis dari perbatasan Bangladesh-Myanmar. Ia juga
menyediakan foto-foto untuk laporan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar